Teori Belajar Matematika
Teori belajar disebut juga teori perkembangan mental yang pada prinsipnya berisi tentang apa yang terjadi pada mental anak yang dapat dilakukan pada usia (tahap perkembangan mental) tertentu.[1]
Adapun teori belajar matematika tersebut adalah: a) Teori Bruner, b) Teori Jean Piaget, c) Teori Brownell, d) Teori Dienes. Teori Bruner menyatakan bahwa langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaannya belajar konsep, karena pengertian akan lebih melekat apabila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep dilakukan oleh siswa sendiri. J.S Bruner, dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan bentuk spiral. Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai dengan konkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum dipakai dalam matematika.[2]
Bruner dalam Erman Suherman dkk, mengemukakan bahwa dalam proses belajar anak melewati tiga tahap perkembangan mental, sebagai berikut: 1) Tahap Enaktif (konkrit) yaitu, pada tahap ini siswa belajar konsep dengan memanipulasi benda-benda secara langsung. 2) Tahap Ikonik (semi konkrit) yaitu, pada tahap ini siswa memahami konsep matematika yang bersifat abstrak dengan bantuan modelmodel semi kongkrit, tabel, gambar, bagan, peta dan lain-lain. 3) Tahap Simbolik (abstrak) yaitu, pada tahap ini siswa belajar konsep dan operasi matematika langsung dengan kata-kata atau simbol-simbol tanpa obyek kongkrit maupun model semi kongkrit.[3] Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk konkrit akan dapat dipahami dengan baik. Dan menurut Bruner, tiap-tiap pelajaran dapat diajarkan secara baik dalam bentuk yang ilmiah pada tiap anak didik dan setiap tingkatan pertumbuhannya.
Teori Jean Piaget disebut juga teori kognitif atau intelektual atau teori belajar. Disebut teori kognitif karena berkenaan dengan kesiapan siswa untuk mampu belajar dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan siswa. Belajar pada anak bukan sesuatu yang sepenuhnya tergantung pada guru melainkan harus keluar dari anak itu sendiri. Perkembangan mental anak lebih cepat memasuki ke tahap yang lebih tinggi, dapat dilakukan dengan memperkaya pengalaman-pengalaman anak terutama pengalaman konkrit, sebab dasar perkembangan mental (kognitif) adalah melalui pengalaman-pengalaman berbuat aktif dengan berbuat terhadap benda-benda di sekitar.
Teori Brownell, teori ini berdasarkan keyakinan bahwa anak-anak pasti memahami apa yang sedang mereka pelajari jika secara permanen atau secara terus menerus untuk waktu yang lama. Brownell mendukung penggunaan benda-benda konkrit untuk dimanipulasikan sehingga anak-anak dapat memahami makna dari konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Teori Dienes dalam pengajaran matematika menekankan pengertian, dengan demikian anak diharapkan akan lebih mudah mempelajarinya dan lebih menarik.[4]
Mengacu dari beberapa teori belajar di atas, maka dalam penelitian ini teori belajar matematika yang dipakai adalah teori belajar dari Piaget, khususnya pada pembelajaran dengan benda konkrit. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran matematika perlu memperhatikan kognitif anak. Anak usia sekolah dasar belum mampu berpikir abstrak, namun anak sudah berfikir logis dengan bantuan benda konkrit. Oleh karena itu, pembelajaran matematika untuk anak usia sekolah dasar masih memerlukan bantuan benda-benda konkrit sebagai media pembelajaran.
Dengan menguasai teori belajar dari Piaget, dimungkinkan siswa akan dapat mengikuti pelajaran dengan baik, bahkan guru pun dapat memotivasi siswa sehingga siswa berminat dan respon belajar matematika. Teori belajar mengajar
matematika yang dikuasai guru akan dapat diterapkan pada siswa jika para guru dapat memilih strategi belajar mengajar yang tepat, mengetahui tujuan pendidikan, pengajaran, dan pendekatan yang diharapkan, serta dapat melihat apakah siswa sudah mempunyai kesiapan untuk belajar atau belum. Dengan mengetahui kesiapan siswa dalam belajar matematika, maka pengajaran yang disampaikan dapat disesuaikan dengan kemampuan siswa.
[1] Lisnawaty Simanjutak dkk. Metode Mengajar Matematika 1 (Jakarta : Rineka Cipta,1993), hlm. 64
[2] Ibid, hlm. 70
[3] Siti Rohayah dan Ermi Kurniawati. Panduan Bagi Orang Tua Dalam Pembelajaran Matematika
Kepada Anak.( Yogyakarta:Media Grafika Utama,2009), hlm.7
[4] Lisnawaty Simanjutak dkk. Metode Mengajar Matematika 1, (Jakarta : Rineka Cipta,1993), hlm.69