Penulis : Admin Inspira Pustaka
Siti Fatonah (Yogyakarta)
Sumba, salah satu daerah di Indonesia yang belakangan namanya sedang naik daun. Meskipun demikian, Sumba tak terlalu poluler seperti Bali yang sudah mendunia. Padahal, Sumba tak kalah dalam menyajikan panorama alam dan adat istiadat budaya, bahkan lebih natural dan alami.
Melancong ke Sumba adalah salah satu daerah impian yang masuk daftar untuk bisa aku kunjungi. Awalnya, yang aku tahu dari Sumba sebatas Rumah Adat Tarung yang begitu etnic dan keunikan masyarakatnya yang menganut agama marapu. Agama nenek moyang yang masih dianut sampai saat ini disana. Namun ternyata banyak hal lainnya yang menakjubkan. Membuat tak henti senantiasa berdecak kagum karena perpaduan pesona alam dan kearifan lokalnya.
2017 menjadi tahun terwujudnya impianku, tepatnya pada bulan Juli. Berangkat dari Jogja sekitar pukul 07.00 WIB dan tiba pukul 15.00 WITA. Petualanganku di Sumba dimulai di Bandara Waikabubak. Bisa dibilang petualanganku kali ini adalah perjalanan yang penuh dengan pertolongan-Nya. Kok bisa? Nanti kalian juga akan tahu yang aku maksud.
Tujuan pertamaku setiba di Sumba adalah rumah salah seorang kawan dari kawanku yang berada di Sumba Barat, rumah kak Zul. Nantinya, perjalananku di Sumba ini akan mendapatkan bantuan dari link pertemanan Kak Zul dan satu lagi Kak Vary. Aku belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya, hanya sebatas berhubungan via WhatssApp. Setibaku di rumah Kak Zul, tak begitu lama Kak Vary datang. Saat itulah menjadi hari dimana pertama kalinya aku berjumpa dengan Kak Vary dan Kak Zul. Begitu pula dengan mereka berdua juga baru kenal saat kami berjumpa.
Karena hari sudah begitu sore, maka hari itu aku gunakan untuk beristirahat dan esok baru akan aku mulai penjelajahanku. Kebetulan, rumah Kak Zul sangat dekat dengan Kampung Adat Tarung. Cukup berjalan sekitar 10 menit sudah sampai. Kami berdua jalan kaki menyusuri jalan setapak di Kampung Adat Tarung. Aku berbincang dengan warga lokal, membeli kain tenun untuk oleh-oleh. Aku sangat senang bisa menyatu dengan mereka. Hampir 2 jam tak terasa kami saling bercengkrama dan kami begitu akrab. Bahkan aku sempat memakai pakaian khas perempuan Kampung Adat Tarung, berupa sarung kain tenun lengkap dengan kalung marapu. Mama Leda Gako sangat antusias mendandaniku berpakaian Sumba. Aku juga senang sekali bisa berfoto dengan gadis-gadis cilik disana, berbalut syal tenun.
Aku juga diperkenankan masuk dan melihat isi rumah Mama Leda Gako. Rumah adat disana tak bersekat, antara dapur, kandang babi, kamar tidur seolah jadi satu. Terlihat tanduk kerbau dan taring babi yang menghiasi dinding rumah. Semakin banyak tanduk kerbau dan taring babi menandakan strata sosial yang tinggi layaknya Rumah Tongkonan di Toraja. Saat aku akan meninggalkan Kampung Adat Tarung, Mama Leda Gako menyalamiku dengan cara bersalaman khas disana. Bukan saling berjabat tangan namun saling menempelkan batang hidung, yang artinya kita sudah sangat diterima kehadirannya disana.
Usai dari sana, aku melanjutkan perjalananku ke Kampung Adat Prai Ijing. Disana aku berkesempatan berbincang dengan seorang mama yang sedang menyelesaikan pesanan kain tenunnya. Lengan tangannya terdapat tato alami yang dibuat menggunakan duri pohon jeruk yang dibakar dengan jelaga dari lampu pelita. Tato tersebut bertuliskan namanya.
Salah satu tradisi masyarakat yang tinggal disana adalah setiap perempuan yang telah dipinang wajib membuat tato sehingga menandakan bahwa sudah ada lelaki yang mempersuntingnya. Selanjutnya kami berkunjung ke Waikelo, goa cantik dengan air begitu jernih. Petualanganku di hari pertama tersebut begitu menakjubkan. Aku belajar kekayaan tradisi di Indonesia, yang bahkan mungkin masih minim ditemukan di buku dan memang hanya bisa diperoleh saat datang ke daerah tersebut dan menggali langsung dari masyarakatnya. Semakin sempurna karena ditutup dengan wisata alam yang cantik.
Perjalanan Sumba hari keduaku kali ini bersama Tuti. Aku diajaknya untuk menikmati panorama pantai yang mempesona. Kami menuju ke Sumba Barat Daya mengunjungi Pantai Ratenggaro. Pantai ini membuatku jatuh cinta sejak pandangan pertama. Bagaimana tidak? Pasir putih lembut memanjang membelah laut biru muda dengan warna degradasi biru tua.
Di tepian pantai berjejer Situs Adat Ratenggaro, di seberang laut ada hutan mati dan di hadapan pantai terlihat atap menjulang Rumah Adat Ratenggaro. Rumah adat yang memiliki tinggi atap hampir mencapai 30 meter. Usai darisana, kami menuju Pantai Kita di Sumba Barat. Pantai yang sama bagusnya, berpasir putih lembut dan sangat sepi, serasa pantai pribadi. Disana tempat menikmati sunset yang begitu memukau. Sebenarnya di Sumba Barat Daya masih banyak terdapat wisata alam yang begitu indah, seperti Danau Waekuri, Pantai Mandorak, Pantai Bawana. Namun karena daerah Sumba Barat Daya yang masih cukup rawan, disamping juga jalanannya masih rusak, bebatuan juga sangat sepi terlebih jika melakukan perjalanan kesana hanya sedikit maka kondisi tersebut kurang aman, itu membuat tempat kunjungan kami menjadi terbatas.
Hari ketigaku di Sumba menjadi hari yang ku tunggu. Kedatanganku di Sumba salah satunya ingin melihat Festival 1001 Kuda Sandelwood, kuda khas Sumba. Aku ditemani Kak Zul ke Sumba Tengah untuk menyaksikannya. Kami menuju lapangan, disana telah terlihat ratusan Kuda Sandelwood yang memenuhi lapangan dengan balutan kain tenun. Sebelum arak-arakan kuda dilakukan, aku berkesempatan melihat Tari Reja. Sorenya aku bersiap menuju ke Sumba Timur. Untuk menuju kesana bisa menggunakan travel seharga Rp 60.000,00. Aku kemudian berpamitan dengan Kak Zul dan keluarganya yang telah berbaik hati memberikan tumpangan tempat tinggal padaku. Aku seolah mendapatkan keluarga baru yang baik hati.
Bertolak ke Sumba Timur aku kembali dimudahkan. Aku akan tinggal di rumah Kak Mut, teman Kak Vary. Sama halnya dengan yang lainnya, akupun juga belum pernah bertemu dengan Kak Mut dan bahkan saat aku tiba dan menginap di rumahnya Kak Mut tidak ada, karena dia bekerja di Sumba Barat. Akhirnya sampai sekarang aku belum pernah sekalipun bertemu dengannya, namun dia dan keluarganya begitu baik padaku sekalipun aku orang asing.
Di Sumba Timur, rencana awal aku ingin mendatangi Bukit Warinding, Pantai Walakiri, Savana Purukambera dan Rende. Namun ternyata rencana yang sudah tersusun rapi, semua harus sirna. Keberadaanku dua hari disana harus banyak beristirahat karena aku mengalami kecelakaan motor. Rok gamisku masuk ke ruji motor yang aku tumpangi, sehingga membuat kepalaku harus dijahit karena luka di kepala. Darah bercucuran dan gamisku robek. Di rumah sakit usai kepalaku dijahit, seorang ibu perantau dari Solo bernama Bu Kartni mengajakku ke rumahnya lalu aku diberi gamis. Kecelakaan aku alami usai membeli tiket pelni untuk menuju Flores. Akhirnya, di Sumba Timur aku hanya bisa bertandang di Bukit Persaudaraan, Pantai Kambera, Savana Purukambera. Aku melanjutkan ke Flores berbalut luka kepala.
Perjalananku ke Sumba kali ini sangat berkesan bagiku, bukan sekedar perjalanan biasa namun penuh pelajaran dan makna. Selain itu, sangat terasa begitu dekatnya pertolongan-Nya pada setiap perjalananku. Aku juga merasakan Indonesia seutuhnya disini.
Perpaduan antara keindahan alam, budaya, adat istiadat, bahasa, dan keramahan masyarakat Indonesia ada dalam perjalanku kali ini. Bagi pecinta perjalanan yang sangat menyukai nature dan juga yang berkaitan etnografi (adat istiadat, budaya dan bahasa), Sumba adalah pilihan yang tepat dan wajib untuk dikunjungi. Walaupun masih banyak kekurangan seperti akses jalan yang tak semuanya kondisi bagus, transportasi yang masih sulit, dan tingkat keamanan yang masih kurang karena banyak tempat wisata yang terletak di daerah yang masih sepi dan rawan rampok. Namun disitulah tantangannya sehingga berpetualang ke Sumba menjadi anti mainstream. Ayo ke Sumba !! Sekeping surga dan miniatur Indonesia yang cantik mempesona.
***
Siti Fatonah. Seorang yang menyukai perjalanan dan petualangan. Minat travelling pada sesuatu berkaitan dengan panorama alam dan etnografi. Sangat penasaran dan tertarik pada ragam adat istiadat, budaya, bahasa, suku di Indonesia. Selain itu juga jatuh hati pada dunia sosial.
Sumber Foto (Google.com)