Pernikahan Dini Tak Menghentikan Mereka untuk Bersekolah

Membaca penuturannya via WA ini menunjukkan bukti kepada saya, bahwa KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga) meninggalkan trauma pada anak. Anak perempuan menjadi curiga pada tiap laki-laki ;dianggap memiliki perilaku sama dengan bapaknya yang bersikap kasar kepada ibunya. Saya masih menerima penuturan Ayu berikutnya. Ini tentang perjalanannya menginjak dewasa.

“Setelah itu ( kerja di salon) saya memutuskan ke Surabya lg untuk kerja menjadi pembantu rumah tangga . Hubungan saya dengan Mas Toni semakin dekat, pas lebaran saya pulang dan ada yg menawari kerja di rumah makan di Makasar Sulawaesi . Karena hobby memasak, tanpa berpikir panjang langsung saya terima. Di rumah makan itu mencari pekerja laki-laki dan perempuan , saya berangkat ke sana bersama Mas Toni. Kami kerja bareng selama beberapa bulan . Saat pulang Mas Toni berniat melamar saya. Berlanjut setelah itu tanggal pernikahan saya sudah dekat. Sebenarnya tidak ingin nikah di usia muda, tapi saya merasa ada sosok ayah yang ada pada diri Mas Toni maka dari itu saya menerima karena dari kecil saya tidak merasakan sosok bapak bahkan kehilangan semua itu, belaian kasih sayang manja-manja dengan seorang bapak itu tidak pernah saya dapatkan gak pernah saya rasakan dan gak pernah pula saya bayangkan karena itu semuanya tidak mungkin…”

Saya sela penuturan Ayu ini dengan pertanyaan

“Menikah usia berapa?” Lalu dijawabnya

” Saya 18 dan Mas Toni 21 tahun”. Lalu ia menulis lagi cerita dan terkirim ke saya pada jam 1313.41 WIB, ini artinya ia bercerita hampir satu jam dan masih ada cerita berikutnya.

“Saat pernikahan semakin dekat ada sistem ‘rapak’ sebelum nikah, karena bapak masih hidup maka harus jadi wali nikah saya. Saat itu saya hanya menelponnya mengabarkan kepadanya kalau saya mau nikah dan bapak menjadi wali nikah saya. Ia tidak mau alasannya tidak punya uang, setelah saya bilang bahwa nanti kalau mau pulang saya kasih uang Rp 100.000 untuk transportnya, baru deh mau. Setelah ‘rapak’ pernikahan kami kurang 2 minggu. setelah rapak ke KUA bapak pamit pulang dan saya kasih uang Rp 100.000 pun diterima. Bapak saya minta lagi untuk pulang ( balik ke rumah saya ) 2 minggu lagi sebagai wali nikah saya, dan ia jawab ‘iya’, saya tidak minta apa-apa dari bapak yang penting bapak pulang waktu ijab kabul, kalau bapak tidak ada uang nanti saya kasih…” Saya membaca penuturannya ini ikut tenggelam dalam kisahnya, Ayu masih juga menggap bahwa tempat tinggal yang ia diami bersama ibu dan neneknya itu, juga rumah bapaknya, nampak dari kosakata yang ia pakai ‘pulang’ dalam kalimatnya ” yang penting bapak pulang” dan “bapak saya minta lagi pulang”. Bukankah perceraian itu antara lain memisahkan bapak dan ibunya untuk tidak serumah. Saya mengira, bahwa Ayu masih mengharapkan kebersamaan bersama bapaknya meskipun saya baca penuturannya itu ada rasa benci kepada bapaknya ini melalui kosakata yang kurang elok disampaikan, dan sudah saya ganti misalnya kata ‘dia’ saya ganti dengan ‘bapak’ dan ada pula tulisan ‘benci’ yang saya tiadakan dalam petikan-petikan chat yang ia kirim ini. Rupanya naluri sebagai anak tak hilang dalam hatinya. Cerita berikutnya masih tentang seputar hari penikahannya dengan Toni.

“….Tapi apa yang saya dapat saat saya menikah bapak saya yang selama ini tidak pernah tahu akan kehidupan saya, makan atau kelaparan, sehat apa sakit, sekolah apa tidak, sedih apa bahagia, ternyata tidak hadir di hari pernikahan saya, sungguh seperti bencana yg besar seprti petir yang menyambar di hati saya, saya tidak kuasa menahan sedih dan lemes sekali badan saya, akhirnya pernikahan tetap lanjut meskipun tanpa bapak, sungguh tega seorang bapak yang tidak mau jadi wali anaknya saat nikah.Sungguh kejamnya bapak saya menunjukan sifat aslinya tidak mau jadi wali anaknya”.

Setelah pernikahan sedikit demi sedikit Mas Toni mengubah segala pandagan saya bahwa gak semua suami itu seperti bapak, tidak semua laki-laki itu tidak perduli. Tanpa bapak pun hidup saya bahagia bersama suami, dengan bekerja keras sebagai kuli bangunan Mas Toni mengubah segalanya: di rumah yang tadinya gak punya listrik ia pasangin, yang tadinya tidak punya TV di belikan degan susah payah dan kerja kerasnya dia buktikan ke saya bahwa tidak semua laki-laki bisa menyakiti wanita”. Tepat jam 14.12 WIB percakapan saya seputar keluarga broken homenya Ayu di WA berakhir. Ini berarti sekitar dua jam ia bertutur dan ia merasa plong , lega bercerita kepada saya, termasuk menceritakan pula upaya suaminya kerja serabutan yang antara lain untuk membeli susu formula untuk anak mereka karena Ayu sakit tidak dibolehkan memberikan ASI pada bayi prematurnya ( lahir pada usia kandungan 8 bulan). Ia juga masih sempat bersyukur tidak mempunyai saudara, katanya

“Untung anak dari pernikahan lalu berakhir perceraian ini cuma saya saja, saya tidak bisa bayangkan kalau punya adik atau kakak. Kasihan, Bu”. Lalu ia bercerita pula bahwa ibunya yang kini usia 48 tahun tidak mau menikah lagi karena trauma KDRT yang dilakukan bapaknya hingga terjadi perceraian pada usia 27 tahun.

 

Saat ini kesibukan Ayu sebagai pedagang online dengan alasan agar tetap bisa bersama keluarganya dan Toni kerja serabutan dan mulai beternak kambing dari hasil keuntungan jual beli online dari Ayu. Kedua tokoh yang saya ceritakan ini, Ayu dan suaminya ini adalah peserta didik Paket C yang didaftarkan kepala desanya di PKBM BESTARI. Allah tidak memberi cobaan melebihi batas kemampuan hambaNya, walaupun Ayu tidak mendapatkan kebahagiaan memiliki orang tua yang lengkap, hingga tidak bisa lanjut sekolah SMA, ada saja cara Allah memberi jalan untuk mendapatkan pendidikan jenjang SMA melalui program kepala desanya ini. Allah menitipkan kasih sayang yang hilang dari bapaknya kepada suami, kepala desa dan pasti banyak lagi sepanjang perjalanannya nanti.(tulisan ini telah dimuat mepnews pada tanggal 28 Maret 2018 dengan judul Nobody’s Child; Menjadi Wali Nikah Saya pun Tidak Mau

Cerita saya tentang peserta didik tersebut selain saya dengarkan dan saya afirmasi dalam wujud tulisan media online, saya juga apresiasi aktivitas ekonominya sebagai pedagang online dan membuka layanan jasa catering. Selama USBN tahnu 2018 ini saya pesan konsumsi untuk pengawas USBN Paket B dan Paket C darinya. Saya juga sempat membuat essay atas cara dia membuat roti/ cake dalam tulisan yang dimuat media online juga.