Pernikahan Dini Tak Menghentikan Mereka untuk Bersekolah

Selain saya membantu mereka ‘momong’ bagi peserta didik yang membawa anaknya akibat dari pernikahan dini pada masa pembelajaran, ketika lulus ada juga yang kami rekrut menjadi tenaga administrasi di PKBM BESTARI.  Peserta didik yang saya maksud ini lulusan tahun 2014, ia putus sekolah di kelas 12 .Menjadi single parents membuat hati saya terketuk untuk memberinya pekerjaan. Ia menjadi single parents karena orang tua pihak laki-laki tidak mengizinkan anaknya menikahi anak didik saya ini. Ia cukup rajin dalam menata administrasi PKBM, ia juga ulet dalam bekerja. Ia tak lama bekerja di PKBM BESTARI karena alasan kurangnya pendapatan untuk biaya hidup anak dan dirinya. Ia keluar bekerja di PKBM BESTARI setelah ia mendapatkan pekerjaan di pabrik. Saya hormati keputusannya, karena memang PKBM tidak bisa memberi kesejahteraan yang mencukupi kebutuhannya. Dalam hari kerja yang hanya seminggu tiga kali, PKBM memberi honor sesuai kinerjanya. Ia sempat mengungkapkan kepada saya mengucapkan terima kasih atas pemberian pekerjaan sembari menunggu pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan dirinya dan anaknya.

Pemberian kesempatan bekerja di PKBM BESTARI ini tidak saja saya berikan kepada alumni perempuan yang single parents, tapi juga kepada alumni kami peserta didik perempuan yang tertekan secara psikoligis atas tuntutan orang tuanya agar ia menghasilkan uang dalam setiap aktivitas hidupnya.  Lagi-lagi PKBM BESTARI merekrut peserta didik ini untuk  mengajar di KB BESTARI dan kadangkala saya perbantukan pada tugas admnistrasi PKBM BESTARI. Peserta didik ini tidak lama di PKBM BESTARI karena setelah ia menikah diajak suaminya mernatau ke Papua untuk bekerja di sana.

Selain memberi kesempatan belajar dan membantu memberi kesibukan kerja, saya selaku pengelola PKBM penyelenggara pendidikan kesetaraan juga berusaha menjadi sahabat untuk berbagi cerita ( teman curhatnya) bagi peserta didik dalam hal ini peserta didik perempuan. Baru –baru ini ketika saya menulis tentang anak-anak korban keluarga broken home di media online, saya menerima curhatan peserta didik Paket C yang saya tulis kembali menjadi essay dan dimuat di media online Mepnews lagi sebagaimana berikut ini.

 Sehari setelah saya posting tentang keluarga broken home di Mepnews, ada peserta didik Paket C Bestari yang mengirim pesan pribadi di nomor WA saya. Saya samarkan namanya di sini dengan nama Ayu, dan suaminya Toni . Ini isi chat kami yang sudah mendapat izin Ayu untuk dipublikasikan kisahnya ini.

“Baca tentang broken home seperti perjalanan hidup saya selama ini, Bu”. Siang itu Kamis 8 Maret 2018 jam 12.54 saya menerima pesan pribadi dari nomer yang sangat saya kenal, ya nomor milik Ayu, peserta didik PKBM BESTARI yang sekolah di Paket C kelas 12.

“O iya ta? Seperti apa? Bisa cerita?” Begitu mengejutkan hingga saya bombardir dengan beberapa pertanyaan.

“Sejak usia 3 tahun bapak dan mamak saya bercerai, meskipun waktu itu saya baru usia 3 tahun tapi saya ingat betul kalau mamak saya sering mendapat pukulan dari bapak, sampai suatu hari bapak memukul mamak sampai mulut dan hidungnya berdarah, sungguh waktu itu rasa hati saya sakit banget, sering bertengkar di depan saya sampai pernah mau dipukul pakai kursi kayu, saya masih benar-benar ingat itu dan tak akan lupa perbuatan bapak ke emak saya. Seiring berjalannya waktu mereka memutuskan bercerai dan bapak sudah kabur sama perempuan lain & emak saya terpaksa jual sawah satu-satunya untuk urus perceraian tersebut hingga resmi bercerai. Setelah itu hak asuh jatuh ke mamak dan saya di besarkan mamak dan embah yg sama-sama janda. Setiap hari saya ditinggal mereka bekerja di sawah demi sesuap nasi. Sampai saya lulus sekolah SD bapak saya tak pernah ingin menjeguk saya, akhirnya saya memutuskan mencari alamat bapak saya ke Madiun untk meminta biaya sekolah masuk SMP, tapi apa yg saya dapat hanya hinaan dan cacian dari ibu tiri saya. Sayapun pulang ke Jombang. Saya sempat sakit beberapa hari karena ‘saking’ inginnya sekolah. Dengan rasa iba emak saya menyekolahkan saya di SMP Negeri paling dekat dengan rumah saya, tapi saya harus jalan kaki yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah …” Saya melihat Ayu masih mengetik chat berikutnya.

“Lanjut ceritanya, Mbak”. saya tanggapi singkat, agar ia tahu kalau saya tidak keberatan membaca chatnya yang cukup panjang itu.

 

“Dengan susah payah emak mencarikan biaya sekolah sampai sering tak punya uang saku karena untuk bayar sekolah. Setelah lulus SMP ingin rasanya lanjut sekolah SMA tapi apa daya keadaan tak mampu membawa saya menuju sekolah tersebut, hingga suatu hari saya mengeluh ,’ Mak, aku sekolahno SMA tah, mosok aku selama iki sekolah melaku,jarang sangu aku lho nerimo, sampek nek sore di kongkon wong opo ae gelem ( kerja sore di rumah orang) nerimo ben aku duwe sangu gawe skolah, tolong aku kepingin sekolah SMA, Mak’. Tanpa menjawab emak pergi ke kamar tapi apa jawaban keesokan harinya emak saya sakit gara-gara saya bilang gitu dan embah saya juga marah “. Masih banyak rupanya yang diceritakan Ayu, saya melihat ia masih lanjut mengetik.

“Iya…lalu?” Saya tak punya kalimat tanggapan lainnya, saya kira Ayu cuma ingin didengar ceritanya dulu, dalam hal ini saya cukup membaca cerita pilunya itu di WA saya.

“Ijasah SMP saat itu belum keluar, saya nekad pergi ke Surabaya menjadi pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 500.000/ bulan. Saat itu tak ada pikiran untuk saya kasih ke mamak, saya berpikir bahwa saya harus kerja setahun dan tahun depan uang ini bisa dipakai sekolah SMA. Saya ingin menjadi koki , nanti saya ambil jurusan tata boga, tapi cita-cita tak semudah perjalanan ini, saya pulang 3 bulan kemudian mamak saya sakit dan akhirnya uang itu terpakai”. Ayu masih menulis ceritanya lagi, terlihat notifikasi proses menulis nampak di layar handphone saya.

“Beberapa hari kemudian bapak pulang meminta saya ikut dengannya. Sungguh bapak tega kepada kami, dari sejak perceraian itu tidak pernah sepeserpun kasih apa-apa kepada saya, tapi setelah saya bisa cari uang, ia malah mau membawa saya. Selang beberapa hari saya mau balik ke Surabaya dan bos saya sudah mencari ganti karena terlalu lama saya pulang kampung. Akhirnya saya dapat lagi pekerjaan di Sidoarjo jadi susternya bayi. Hanya sebulan saya di pekerjaan itu saya keluar karena saya tidak terlalu bisa momomg waktu itu . Saya pulang ke desa dan kerja di sebuah salon kecantikan di daerah saya dengan gaji 300.000/bulan, saya ‘lakoni’ saja agar saya punya pengalaman. Hilang sudah cita-cita sekolah SMA, sering kali lihat anak memakai seragam putih abu-abu merasa iri & sakit hati karena saya tidak kesampain untuk pakai seragam itu, hingga suatu hari di salon saya mengenal laki-laki yaitu Mas Toni ( bukan nama aslinya) yg saat ini suami saya, sering saya merasa apa mungkin laki-laki itu sama dengan bapak saya yang suka selingkuh yg keras sama wanita, tapi seiring berjalannya waktu saya nyaman bersama dia”.