Oleh : Nirwan Ahmad Arsuka
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah peristiwa alam yang skalanya tidak biasa buat kita, telah terjadi secara beruntun, sambung menyambung. Karena skalanya tidak biasa, kita pun kemudian menyebutnya sebagai “bencana alam.” Ada yang bahkan menyebutnya sebagai “azab Tuhan.”
Kata “bencana” itu melekat bukan terutama karena besarnya skala peristiwa alam, tapi karena banyaknya korban yang jatuh.
Telaah dari berbagai sisi meyimpulkan bahwa ketidaksiapan kita menghadapi peristiwa alam tersebut, ikut berperan dalam besarnya jumlah korban. Negeri kita tercinta ini memang berada di atas
tiga tumbukan lempeng benua dan di kelilingi cincin vulkanik. Keadaan itu membuat Indonesia jadi sarang bagi peristiwa-peristiwa alam yang tidak biasa, sekaligus juga membuat negeri kita jadi subur dan istimewa. Peringatan-peringatan alam sebenarnya sudah pernah dikirim di masa silam, tapi kita tidak cukup rajin mencatatnya. Pemukiman dan kota-kota yang kita bangun pun tak selalu mengindahkan kemungkinan terjadinya peristiwa alam yang luar biasa.

Ini semua mendesakkan tuntutan pada kita untuk bukan hanya membangun dan mengembangkan literasi bencana, tapi mewujudkan literasi bencana itu secara sistematis dalam berbagai aspek.
Yang menggembirakan adalah bahwa kawan-kawan relawan di berbagai penjuru, ternyata cukup tangkas bergerak mengerahkan dan mengelola semangat gotong royong masyarakat untuk meringankan beban sesama warga yang terdampak. Terima kasih yang sebesar-besarnya kita sampaikan ke kawan-kawan relawan yang telah bergerak dengan cara dan kemampuan masing-masing. Banyak dokumentasi yang dibuat oleh para relawan yang langsung terlibat di tengah masyarakat yang terdampak, tapi tak semua dokumentasi itu bisa dishare.
Semoga semangat kerelawanan dan kegotongroyongan ini terus berkobar dan menyebar luas, mendampingi penyebaran literasi bencana ke seluruh lapisan masyarakat.